Thursday 4 December 2014

Cerpen Jakarta


J A K A R T A
Totilawati Tjitrawasita

            Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersen­til. Alangkah anehnya, mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter. Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian pelan dia bertanya, “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk, menyodorkan bolpoin. “Silakan tulis: nama, alamat, dan keperluan,” katanya.
            Tiba-tiba timbul keinginannya untuk berolok-olok. Sambil menahan ketawa ditulisnya di situ: nama: Soeharto (bukan Presiden). Keperluan: urusan keluarga.
            “Cukup?” katanya sambil menunjukkan apa yang ditulisnya kepada penjaga. “Lelucon, lelucon”. Katanya berulang-ulang sambil menepuk-nepuk punggung penjaga yang terlon­gok-longok heran.
            “Dia tahu, siapa saya” ujarnya menjelaskan.
            “Tanda tangannya belum, Tuan. Dan alamatnya?”
            Betul juga, ada gunanya juga menjelaskan identitasnya agar tuan rumah tahu dan memberikan sambutan yang hangat atas kedatangannya. Maka ditulisnya di bawah tanda tan­gannya, lengkap: Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja dibikin kapital semua, diberi garis tebal di bawahnya. Sekali lagi dia tersenyum, rasa bangga terukir di wajahnya.
            “Begini?” tanyanya seperti meminta pertimbangan penja­ga.
            Terbayang adik misannya tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu menyerbunya dengan segala rasa rindu, sambil melem­par macam-macam pertanyaan kepadanya, “Bagaimana Embok, Bapak? Tinah, anaknya sudah berapa?” Kemudian dilihatnya diri sendiri menepuki punggung adiknya dan dengan suara dan gaya orang tua dia bilang, “Sehat. Semua sehat. Dan mereka kirim salam rindu kepadamu.”
            Ketika pintu berderit ia tersentak dari lamunannya, dan di saat berdiri hendak menyambut adik misannya, ternyata yang keluar bukan dia … tapi si penjaga.
            “Bagaimana?” tanyanya tak sabar.
            “Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak Jenderal heran melihat nama Bapak di situ.”
            Mendengar itu dia tersenyum, lalu duduk kembali di kursi. Ditepuk-tepuknya debu yang melekat di celananya, lantas diambilnya slepi dari sakunya.
            “Boleh merokok”” tanyanya minta izin.
            “Silakan, silakan,” kata si penjaga dengan ramah. Sikap tamu itu memang merapatkan rasa persaudaraan. Ditawarkan­nya rokok ke ujung hidung si penjaga,
            “Mau? Silakan lho!” yang dijawab dengan gelengan kepala dan goyangan tangan oleh si penjaga.
            “Baiklah, tapi jangan panggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan  ‘Pak Pong’, ‘Pak Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih teletong. Ooh, sejak kecil kami memang suka berolok-olok.” Dia tertawa lebar, terkenang masa kecilnya, ber­canda di atas punggung kerbau. Si penjaga sempat menca­tat: gigi tamunya ompong semua.
            “Tuan, Eh Pak Pong, petani?” ujarnya ragu-ragu, takut kalau menyinggung perasaan.
            “Petani? Apa potongan saya petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya meninggal­kan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina ini ya? Saya, guru SD di Desa Nggesi. Sekolah ini telah menghasilkan orang-orang besar. Murid saya yang pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan. Otaknya tajam se­kali,” katanya sambil mengacungkan ibu jari ke atas, memuji kepandaian adik misannya.
            Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar, mungkin Bapak sudah diperlukan.”
Dia melongo, “Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali di depan matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan, adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda sepanjang limapuluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi dan sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
            “Pak Pong mau minum apa?” Seperti tadi, si penjaga nyelonong duduk dan menegurnya, membubarkan angan-angan masa silamnya. “Pak Jenderal bilang saya harus menemani Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ada tamu istimewa, Pak Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
            “Apa saja, boleh. Kopi kalau ada,” ujarnya merendah.
            “Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Sauda­ranya Pak Jenderal?” ujar penjaga sambil menyorongkan cangkir ke depan tamunya.
            “Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu bapaknya meninggal kena wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya diambil oleh orangtua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagum­kan. Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa makan apa saja …. Ooh, apa itu Pak Menteri?” tiba-tiba dia menghentikan ceritanya, menunjuk ke jalan.
            Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya melon­cat bangun, setengah berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan pintu mobilnya.
            “Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang tamu di dalam.
            Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan naik mencekam naik ke dadanya: Dia ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di hadapannya. Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
            Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan seseorang muncul di depannya: si penjaga! Dengan tertawa terkekeh-kekeh ditepuk-tepuknya bahu Pak Pong yang tua.
            “Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit, alamat saya keba­gian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kakak misan Pak Jen­deral, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada keluarganya. Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya: anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh Jenderalnya, kepada tamunya.
            “Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak Menteri itu?” katanya tak sabar lagi.
            “Tidak! asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya ditambah lagi ya, Pak?”
            Dia menggeleng lesu, dalam hati diumpatnya Menteri dan tamu-tamu yang antri di situ, merebut waktu adiknya.
            Karena badan dan pikirannya terlalu capek, dia mengan­tuk di situ. Si penjaga tidak mengganggunya, dibiarkan saja tamunya tersandar lemas di kursinya. Entah berapa lama dia dalam keadaan semacam itu, dia sendiri tak menyadarinya; tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Si penjaga menggoncang-goncang bahunya.
            “Giliran untuk Pak Pong. Mari, saya antarkan ….” Ada keramahan yang tulus terlempar dari mulut si penjaga. Bibirnya menyunggingkan senyum, ikut merasa bahagia. Waktu pintu ternganga lebar, dia tercenung di depannya. Matanya bergerak ke sana ke mari menatapi apa saja yang dilihatnya. Ruangan itu bagus sekali. Hawa dingin menyen­tuh kulitnya. Ada kesegaran di dalamnya. Di tengah-tengah barang-barang yang serba megah, duduk laki-laki jangkung, memakai kecamata hitam. Betulkah itu Paijo?
            Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam, lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak dirang­kulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia menda­dak menghentikan langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di kursi. Laki-laki jangkung itu melepaskan kecamatanya pelan-pelan, lalu mengulurkan tangannya.
            “Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”, ujarnya, datar tanpa emosi.
            Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
            “Kakak, Ibu, Dik Tinah?” dia sempat mencatat kata-kata baru. “Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, “Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?”
            “Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu,” katanya dengan latah, “dik”nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan le saja, ketika masih sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
            “Kakak tetap saja: penggembira, awet muda, bajunya potongan Cina.” Mereka tertawa berderai-derai. Tapi laki-laki yang bernama Pak Pong menangkap sesuatu yang lain dari wajah adiknya: ketidakwajaran.
            Maka hilanglah kegembiraannya. Kerinduan yang hendak dia tuangkan dalam banyak cerita, berhenti sampai di tenggorokannya. Dia tenggelam dalam keasingan. Terentang batas di depannya. Sekalipun tidak diketahuinya bagaimana wujudnya, tapi dia dapat merasakannya. Pada setiap tari­kan napas adiknya terbayang ungkapan kegelisahan adik misannya itu, akan kehadirannya.
“Kakak nginap di mana?” tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
“Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu, “ kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang dite­kannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata ‘ibu’ terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut ibu buat emboknya.
            “Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga.”
            Laki-laki itu berdiri, mengantarkan kakaknya sampai di pintu, memanggil serta memberikan aba-aba pada sopir dan si penjaga. Sesudah itu mobil merah punya Pak Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
            “Gambir sebelah mana, Pak?” ujar sopir di perjalanan.
            “Stasiun!” jawabnya tenang.
            “Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?” tanya si penjaga, ingin lebih jelas.
            “Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta mening­galkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak meng­ganggunya,” ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
            “Pak Pong …”, sapa penjaga itu dengan lirih. “Kalau Pak Pong mau, biarlah kita bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi, jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
            Laki-laki yang dipanggil Pak Pong mengulurkan kedua belah tangannya. Mereka bersalaman dengan hangat, ditem­pelkan di dada, bersilaturahmi.
            “Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?”
Penjaga itu menggeleng lemah, tanpa berbicara. Hanya saja mata yang menatap sedih pada orang yang duduk di dekatnya itu.
            Malam itu, Pak Pong berjalan kaki, keliling kota Jakarta, di temani si penjaga. Kejadian siang tadi sama sekali tidak membekas pada wajahnya, mukanya tetap berseri-seri. Diterimanya kenyataan itu sebagai hal wajar: adiknya orang besar, sibuk dan banyak acara, mengurus negara. Setiap kali melihat mobil merah lewat di dekatnya, tanya­nya, “Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjem­put aku? Kami memang sudah berjanji, jam tujuh, makan malam.”
            Si penjaga menepuk-nepuk bahunya, “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya di sini. Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
            “Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?” matanya terbeli­ak lebar, mengungkapkan keheranan yang besar.
            “Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerla­pan itu night club. Tahu night club?” tiba-tiba saja si penjaga merasa berarti, lebih pandai daripada tamunya, kakak sepupu Jenderalnya.
            “Night club,  Pak, pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat  orang-orang kaya membuang duit mereka. Lampunya lima watt, remang-remang; perempuan-perempuan cantik, minuman keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!” ujar penjaga sambil mengacung­kan jempolnya.
            “Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?” suaranya tercekik membayangkan ketakutan yang besar.
            “Berdansa. Bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!” jawab si penjaga dengan ringan.
            “Astaga … Gusti Pangeran, nyuwun pangapura…. Dan adikku apa sering ke situ?” ujarnya lirih, mengandung sedu.
            “Tidak ke situ, ke Paprika. Tapi sama saja. Malah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
            “Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,” keluhnya pelahan.
Lampu-lampu yang berkilauan terasa menusuk-nusuk mata­nya, sedangkan kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah kehilangan adik­nya: Paijo tercinta!
            Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
            Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!”
            Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.


Sumber : 

Dikutip dari Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halaman 192–198.

MAKALAH INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI

MAKALAH INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI


MAKALAH SEJARAH
INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI













 

GURU PEMBIMBING : Drs. M.ASHAR, S.Pd
NAMA : SHENTIA LIYUWANA DEFI
KELAS : XII-IPA 2
NO ABSEN : 30
UPTD SMA NEGERI 1 GONDANG
TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya yang berjudul “INDONESIA PADA MASA ORDE BARU dan REFORMASI”.
                Makalah ini berisikan tentang sejarah bangsa Indonesia, khususnya sejarah Indonesia pada Masa Orde Baru dan Reformasi, diharapkan makalah ini dapat menambahkan pengetahuan kita semua, bagaimana kehidupan masyarakat dan system pemerintahan pada masa itu.
                Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, kritik dan saran dari guru dan teman-teman yang bersifat membangun , selalu saya harapkan demi lebih baiknya makalah ini.
                Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
                                                                      Gondang,           Desember   2013
                                                                     Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG…………………………………………………………………………………………………………………1
B.   RUMUSAN MASALH…………………………………………………………………………………………………………..1
C.  TUJUAN…………………………………………………………………………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Masa Pemerintahan Orde Baru…………………………………………………………………3
B.  Latar Belakang Lahirnya Masa Pemerintahan Orde Baru……………………………………..3
C.  Kehidupan Politik Pada Masa Orde Baru
·         Penataan Politik Dalam Negeri………………………………………………………………………….4
·         Penataan Politik Luar Negeri…………………………………………………………………………….7
D.  Kehidupan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Orde Baru………………………………………9
E.  Kronologis Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru……………………………………….11
F.  Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru………………………………14
G.  Pengertian dan Agenda Sistem Pemerintahan Reformasi…………………………………….15
H.  Latar Belakang Lahirnya Masa Pemerintahan Reformasi…………………………………….16
I.   Faktor-faktor yang Mendorong Munculnya Reformasi…………………………………………16
J.  Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan B.J Habibie untuk Mewujudkan Tujuan dari Reformasi………………………………………………………………………………………………………………….17
K.  Sistematika Pelaksanaan UU 1945 Pada Masa Reformasi………………………………….19
L.   Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Reformasi…………………………………………………20
BAB III PENUTUP
A.  KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………………………………21
B.  SARAN…………………………………………………………………………………………………………………………………….21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………..23
BAB I PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
·         Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upayauntuk: mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
·         Setelah Orde Baru memegang talpuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan status quo. Hal ini menimbulkan ekses-ekses negative, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.     Apa pengertian Masa Pemerintahan Orde Baru?
2.    Apakah yang melatar belakangi lahirnya Masa Pemerintahan Orde Baru?
3.    Bagaimana kehidupan politik pada Masa Pemerintahan Orde Baru?
4.    Bagaimana kehidupan ekonomi pada Masa Pemerintahan Orde Baru?
5.    Bagaimana kronologis runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru?
6.    Apa saja kelebihan dan kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru?
7.    Apa pengertian dan agenda Masa Pemerintahan Reformasi?
8.    Apakah yang melatar belakangi lahirnya Masa Pemerintahan Reformasi?
9.    Faktor –faktor apa saja yang mendorong munculnya Reformasi?
10.  Kebijakan apa saja yang dikeluarkan B.J Habibie untuk dapat mewujudkan tujuan dari Reformasi?
11.  Bagaiman sistematika pelaksanaan UUD 1945 Pada masa Orde Reformasi sampai sekarang?
12.  Bagaimana sistem pemerintahan pada masa orde reformasi?
C.  TUJUAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami berharap dapat mencapai tujuan yang kami inginkan yaitu, dapat mempelajari dan memahami perkembangan masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi dan sekaligus mengerjakan tugas yang diberikan guru sejarah (Bpk. Drs. M.Azhar, S.Pd)yang kami hormati.
Semoga makalah yang saya buat dapat memberikan manfaat kepada siswa-siswi SMAN 1 Gondang Tulungagung, khususnya saya sendiri agar menjadi siswi yang lebih dapat menghargai nilai-nilai dari sejarah Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Masa Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan
negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde
yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat
dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD
1945.
B.  Latar Belakang Lahirnya Masa Pemerintahan Orde Baru
1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan                                            30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
- Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
    - Pembersihan Kabinet Dwikora
    - Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
C.  Kehidupan Politik Pada Masa Orde Baru
A.Penataan politik dalam negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
     Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan   nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
*Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
*Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
*Pelaksanaan Pemilihan Umum
*Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
*Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
*Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
*Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
*Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
b.Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
c.Golongan Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4

Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
B. Penataan politik luar negeri
Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, Pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya pembaharuan dalam politik luar negeri:
1. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2. Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3. Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
a. Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik.
b.Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
*Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
*Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
*Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing Negara.
Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.
D.  Kehidupan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut:
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu:
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran dalm bidang Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
*Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan   perumahan.
*Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
*Pemerataan pembagian pendapatan
*Pemerataan kesempatan kerja
*Pemerataan kesempatan berusaha
*Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
*Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
*Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
E. Kronologis Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru
1. Krisis Moneter
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.
Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.
2. Tragedi “TRISAKTI”
Tragedi 12 mei 1998 yang menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti. Tragedi yang sampai saat ini masih dikenang oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia belum jelas penyelesaiannya hingga sekarang. Tahun demi tahun kasus ini selalu timbul tenggelam. Setiap 12 Mei mahasiswa pun berdemo menuntut diselesaikannya kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Namun semua itu seperti hanya suatu kisah yang tidak ada masalah apapun. Seperti suatu hal yang biasa saja. Pemerintah pun tidak ada suatu pernyataan yang tegas dan jelas terhadap kasus ini. Paling tidak perhatian terhadap kasus ini pun tidak ada. Mereka yang telah pergi adalah :
1.
Elang Mulia Lesmana
2.
Heri Hertanto
3.
Hafidin Royan
4.
Hendriawan Sie
Mereka merupakan Pahlawan Reformasi selain mahasiswa lainnya yg ikut berjuang pada saat itu.
3. Penjarahan
Pada tanggal 14 Mei 1998, Jakarta seperti membara. Semua orang tumpah di jalanan. Mereka merusak dan menjarah toko dan gedung milik swasta maupun pemerintah. Masa pada saat itu sudah kehilangan kendali dan brutal akibat kondisi yang terjadi di tanah air pada saat itu.
Tak hanya itu, massa juga memburu warga keturunan Cina. Tarakhir, banyak warga keturunan Cina mengungsi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan  dan munculah isyu-isyu gak tidak jelas bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan tiong Hoa.
4. Mahasiswa Menduduki Gedung MPR
18 Mei
Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pukul 21.30 WIB, empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu “malu”. Namun, niat itu tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, “Urusan kabinet adalah urusan saya.” Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan “Dewan Reformasi”.
Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR.
5. Soeharto Meletakkan Jabatannya.
21   Mei
·         Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, “Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru”.
·         Pukul 9.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
·         Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
·         Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden, “ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga.”
·         Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
F.  Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
1.  Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
·      Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
·      Sukses transmigrasi
·      Sukses KB
·      Sukses memerangi buta huruf
·      Sukses swasembada pangan
·      Pengangguran minimum
·      Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
·      Sukses Gerakan Wajib Belajar
·      Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·      Sukses keamanan dalam negeri
·      Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
·      Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
2.  Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
·         Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·         Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
·         Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·         Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
·         Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
·         Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
·         Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·         Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
·         Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
·         Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
·         Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
·         Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
G.  Pengertian dan Agenda Sistem Pemerintahan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan perikehidupan barudan secara hukum menuju kearah perbaikan. Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru. Tatanan gerakan reformasi pada mulanya disuarakan dari kalangan kampus yaitu mahasiswa, dosen maupun rektor. Situasi politik dan ekonomi Indonesia yang demikian terpuruk mendorong kalangan kampus tidak hanya bersuara melalui mimbar bibas di kampus, namun akhirnya mendorong mahasiswa turun ke jalan. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa tersebut mengusung enam agenda reformasi yaitu:
a.       Adili Soeharto dan krono-kroninya
b.      Amandemen UUD 1945
c.       Penghapusan Dwifungsi ABRI
d.      Otonomi daerah yang seluas-luasnya
e.       Supremasi hukum
f.       Pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
H.  Latar Belakang Lahirnya Masa Pemerintahan Reformasi
Krisis finalsial Asia yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya.Terjadi krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehimgga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan amgka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan. KKN semakin merajarela, ketidak adilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokrasi) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang  digerakkan oleh mahsiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “ Pahlawan reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, presiden soeharto berjanji akan mereshuffle cabinet pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, komite reformasi belum bisa terbentuk karenan empat belas menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai dimulainya orde reformasi.
I.  Faktor-faktor yang Mendorong Munculnya Reformasi
A. Adanya ketidakadilan di bidang perekonomian dan hukum selama pemerintahan orde baru selama 32 tahun
B. Krisis Politik
Pembaharuan yang dituntut terutama ditukukan pada terbitnya lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yaitu :
·         UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilihan umum
·         UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPR/MPR
·         UU No. 3 tahun 1985 tentang Parpoil dan golongan karya
·         UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum
·         UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi massa
C. Krisis Hukum Pelaksanaan hukum pada masa orde baru terdapat banyak ketidakadilan terutama yang menyangkut hukum bagi keluarga pejabat. Bahkan hkum dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rkayasa dalam proses peradilan.
 D. Krisis Ekonomi Faktor penyebab krisis ekonomi yang melanda Indonesia antara lain :
·         Utang Luar Negeri Indonesia
·         Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
·         Pola pemerintahan sentralistis
E.  Krisis Kepercayaan Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Soeharto. Puncak dari ketidakpercayaan rakyat adalah terjadinya berbagai aksi demonstrasi menentang pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat misal kenaikan BBM dan ongkos angkutan pada 4 Mei 1998. puncak aksi rakyat dan mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998 dimana terjadi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti oleh aparat yaitu :
·         Elang Mulia Lesmana
·         Heri Hertanto
·         Hendriawan Lesmana
·         Hafidhin Royan
Yang akhirnya mendorong timbulnya aksi massa lebih besar pada 13 dan 14 Mei 1998 sehingga terjadi aksi anarkis terutama ditujukan pada etnis Cina. Tuntutan mundur kepada Soeharto semakin menguat setelah munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang ikut menuntut Soeharto mundur diantaranya :
1. Gus Dur
2. Amien Rais
3. Megawati
4. Sri Sultan Hemengkubuwono X
 ( Yang dikenal dengan Tokoh Deklarasi Ciganjur) pada tanggal 21 Mei 1998 kemudian menyerahkan kekuasaan pada BJ. Habibie.
J.  Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan B.J Habibie untuk Mewujudkan Tujuan dari Reformasi
1.   kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
·      UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
·      UU No. 3 Tahin 1999 tentang pemilihan umum
·      UU No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
2.    Kebijakan Dalam Bidang Ekonomi
    Untuk memperbaiki prekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional ( BPPN ). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
3.    Kebebasan Dalam Menyampaikan Pendapat dan Pers
     Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari mumculnya partai-partai politik dari berbagaia golongan dan ideology. Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada Pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Ijin Usaha Penerbitan ( SIUP ).
4.    Pelaksanaan Pemilu
     Pada masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Dalam pemerintahan B. J. Habibie juga berhasil menyelesaikan masalah Timor Timur . B.J.Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dibawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
    Selain dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh B.J. Habibie, perubahan juga dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan peraturan-peraturan yan tidakk demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu kepada prinsip pemisahan kekuasaan dn tata hubungan yang jelas antara lembaga Eksekutuf, Legislatif dan Yudikatif.
    Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain :
1.   Keluarnya ketetapan MPR RI No X / MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi.
2.  Ketetapan No VII/MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR tentang referendum
3.  Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN.
4.  Tap MPR RI No XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden RI.
5.  Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV.
K.  Sistematika Pelaksanaan UU 1945 Pada Masa Reformasi
Pada masa orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi:
1.     Mengutamakan musyawarah mufakat
2.    Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara
3.    Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
4.    Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.    Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah
6.    Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur
7.    Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8.    Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat
9.    Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10.  Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai
11.  Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia
Setelah diadakannya amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah di amandemen :
·         Pembukaan
·         Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.
L.  Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Reformasi
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
1.     Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
2.    Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersuh dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.    Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
4.    Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih  langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Di dalam amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sisten pemerintahan presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
BAB III PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
B.  SARAN
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi. Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.

DAFTAR PUSTAKA